Kamis, 22 November 2018

Tugas 5 : PERMASALAHAN ETIKA ILMU

ETIKA KEILMUAN

PERMASALAHAN ETIKA ILMU

Salah tafsir mengenai ilmu dan kecurigaan terhadap ilmuwan biasanya bersumber pada pembahasan, yang kurang memperhatikan landasan-landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis secara spesifik.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen).
Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif-alternatif untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis.
Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khususnya didunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya. Ia juga memikul tanggung jawab social, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya; dan tangggung jawab moral yang lebih luas cakupannya (Depdikbud, 1984)

Etika dan Moral
Makna etika dapat dikelompokkan menjadi kumpulan nilai dan moral untuk berpikir dan bertindak seorang ilmuwan. Istilah kunci dari bahasa etika adalah sekumpulan nilai, hak, kewajiban, peraturan dan hubungannya. Ilmu sebagia aktifitas dan metode ilmiah juga memiliki etika yang harus dijunjung tinggi, sehingga menghasilkan ilmu mengetahuan yang obyektif (Supriyanto, 2013).
Moral, diartikan sebagai etika (akhlak).  Sejak sekitar abad ke 5 sebelum masehi sudah banyak dibicarakan secara mendalam, didiskusikan dan dianalisa dikalangan para pemikir yang memfokuskan diri pada falsafah hidup dan perilaku manusia.
Dari seluruh pemikiran selama berabad abad mengenai etika dan moral barangkali bisa disimpulkan secara sederhana walau jauh dari sempurna; bahwa  etika dan moral  ini erat hubungannya dengan perilaku manusia yang tulus keluar dari batin sanubari dalam tiap pemikiran, perkataan, perbuatan (tindakan) nyata dalam koridor yang pasti untuk tidak menyakiti baik lahir mapun batin, menindas, menyinggung, meremehkan, melecehkan, merendahkan dan menghilangkan hak pribadi serta menginjak martabat pihak lain secara terbuka maupun tersembunyi dimana dia berada atau dalam jangkauannya serta mutu akhlaknya bisa diterima sebagian besar umat manusia”.
Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakunya, timbul pula perbedaan penafsiran. Penggunaan bom atom, misalnya dianggap tidak etis karena menghancurkan kehidupan umat manusia. Meski demikian, bagi pelaku yang bersangkutan dengan menggunakan bom atom, hal ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kelompok umat manusia. Misalnya, dengan penggunaan bom atom, maka suatu negara dapat membenarkan atas nama melindungi warga negaranya dalam keadaan perang. Pembenaran, dengan demikian, selalu bisa dimunculkan bergantung pada konteks situasi yang dihadapi. (Materi Akta V Dikti, 1984)

Ilmu dalam Perspektif Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni,
Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis.
Tanggung jawab profesional ini mencakup asas
(1) kebenaran
(2) kejujuran
(3) tanpa kepentingan langsung
(4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi
(5) rasional
(6) obyektif
(7) kritis
(8) terbuka
(9) pragmatis
(10) netral.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda.
Teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan:
Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal, tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.
Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya.
Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan. Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber
moral (das sollen) sikap formal kita. Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan


Hubungan Ilmu dan Moral 
Ilmu dan moral keduanya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontology merupakan  asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari obyek ontologis atau obyek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.

Pendekatan Aksiologis
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan obyek penelaahan ilmiah maka pennggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan kelestarian/keseimbangan alam. Salah satu alas an untuk tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan.
Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parochial seperti ras, ideolog atau agama. “Ilmu Russia atau ilmu Arya,” meminjam perkataan Barber, “merupakan sesuatu yang dibenci ilmu (Abhorrent dalam Dikti 1984).


Pendekatan Epistemologis
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun: (b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemmikiran tersebut dan (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypothetico-verifikayif atau deduct-hypothetico-verifikatif.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara obyektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta menolak pernyataan hipotesis). Demikian juga verifikasi factual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan system umpan balik korektif yang ditunjang dengan cara berfikir kritis yang disebut Merton sebagai “skeptisisme terorganisasi.  Artinya cara berfikir ilmiah dimulai dengan sifat skeptif terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini berbeda dengan modus yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agama
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan: Profesional dan Moral
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas moral ini pada hakekatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab professional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
.



Masalah Etika-Moral Dalam Ilmu
Ilmu merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, demikian pula juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Hakikat Ilmu adalah mempelajari alam sebagaimana mestinya (das seiri). Namun demikian dalam perkembangannya sering ilmu tidak bebas dari nilai diluar keilmuan, seperti ajaran moral agama. Konsep ilmiah dari ilmu yang awal mulanya bersifat abstrak, objektif, bebas nilai (netral) kemudian dikembangkan pada konsep ilmiah pada menerapan masalah-masalah praktis dalam bentuk teknologi dan tidak bebas nilai.

Etika Ilmu Dan Peneltian
Hal hal yang harus dijaga dan diperhatikan bagi seorang peneliti antara lain:
Mempelajarialam sebagaimana mestinya(bebas nilai).Pelajanide Filsuf Copernicus dan Galileo, tentang Objektivitas.
Bersifat netral dan umum.
Hasil penelitian harus dikomunikasikan, disebarluaskan.
Pengetahuan ilmu dapat digugurkan atau Falsifikasi.
Original ide dalam penelitian (tidak plagiat).
HAKI(copyright,intelectualpropertyright),sebagaijaminan originalitas.
Otonomi, Beneficence, Justice,Nonmaleficence,Fidelity,Confidentiality, (Guido, 2006)
Guido, 2006 menjelaskan:
Otonomi atau kebebasan responden menolak dan menerima untuk diikutkan. Peneliti harus menghormati keputusan responden.
Beneficence adalah kemanfaatan perlakuan penelitian bagi responden dan peneliti.
Justice artinya jika seseorang mendapat perlakuan, maka yang lain juga mendapatkan perlakuan. Perlakuan kelompok kontrol dapat bentuk lain, sehingga tak mengkacaukan hasil intervensi yang sebenarnya.
Normaleficence artinya artinya pernberian intervensi tidak akan membahayakan atau memberikan efek negatif.
Fidelity artinya peneliti menjunjung tinggi akan janji yang telah dibuat serta menjunjung tinggi komitmen yang telah disepakati.
Confidentiality artinya informasi tentang responden dijaga kerahasiaannya.

Tanggung Jawab Ilmuwan
Ilmu menghasilkan teknologi yang diterapkan pada masyarakat. Teknologi dan ilmu pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamatan bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dihipotesiskan, jika ilmuwan telah dapat memnuhi tanggung jawab sosialnya, maka ilmu pengetahuan itu akan berkembang pesat, ilmu pengetahuan itu akan dapat memberi manfaat besar bagi kehidupan manusia, dan ilmu pengetahuan itu tidak akan menimbulkan konflik di masyarakatya

Problem Etika Pengetahuan
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Adib, (2013) membutuhkan dimensi etis sebagai pengetahuan dan teknologi.  Dalam hal ini Ilmuwan dalam mengemban ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab kepada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembamgkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperoleh  kedudukan serta martabat manusia, baik dalam hubungan sebagai pribadi dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khalik-Nya.
Jadi sesuai dengan pendapat van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaan.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia. Tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan krestifitas manusia itu sendiri.

Ilmu  Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
3 Faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai
ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama,budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya
 perlunya kebebasan ilmiah yang mendorong terjadinya otonomi ilmu pengetahuan
Penelitian tidak luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding  menghambat kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal
Sosiolog, Webber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu ketika para sosial harus menjasi nilai yang relevan. Webber tidak yakin ketikka para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu.

Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki  Ilmuwan
Ilmu bukanlah pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilka suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secar terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk untuk diuji oleh siapa pun (Adib, 2013).
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis rasionalis, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun, menjadi masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu yang kokoh dan kuat, yakni masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Disini letak tanggung jawab seorang ilmuwan, masalh moral dan akhlak amat diperlukan.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuwan tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut sikap ilmiah (Abbas Hamami M., dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, 1996).
Sikap ilmiah harus dimiliki oelh setiap ilmuwan. Karena setiap ilmuwan dalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras anatar kehendak manuisa dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami (1996) terdapat enam hal sebagai berikut:
Tidak ada rasa pamrih
Bersikap selektif
Ada rasanya percaya yang layak baik terhadap keyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi
Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan
Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan
Harus memiliki sikap etis (akhlak)
Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagai mana yang dipaparkan secara normatif tersebut berlaku bagi semua sistem. Hal ini karena pada dasarnya seorang Ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secar universal dan komunal.
Di samping sikap ilmiah berlaku secar umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuwan yang secar spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Hail ini sudah tertentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap  lain kecuali pencapaian objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.

Moralitas Ilmu Pengetahuan
Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia dalam mengembagkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manuisa itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagian manusia. Hakikat moral, tempat ilmuwan mengembalikan kesuksesannya.(Adib, 2013)

Pengingkaran dan Perlawanan Etika
Etika  sebagai modal dasara dalam pembentukan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan, etntunya tidak terlepas dari bebrapa pengingkaran dan perlawanan etika sendiri. Atau yang biasa disebut dengan pelanggran etika. Prinsip etika keilmuan yang berdasarkan kepada prinsip bebas nilai yang mengharuskan ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal, sudah tidak menjadi prinsip yang dinomorsatukan. Beerikut merupakan empat hal pengingkaran dan perlawanan terhadap etka yakni:
Kejujuran : “kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar dari manusia yang akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat”
Taksonomi ketidakjujuran : yakni “(i) bohong (ii) kecurangan sengaja (iii) mempergunakan data orang lain (iv) menahan informasi (v) tidak menyebarkan informasi.
Penyalahgunaan dalam penggunaan data : dalam istilah keilmuan penyalahgunaan ini dibagi menjadi empat macam (i) trimmig (ii) cooking (iii) forging (iv) plagiat
Permasalahan dalam publikasi : dalam publikasi hasil karya biasanya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tidak mengindahkan etika misalnya : (i) plagiatreferencing (ii) authorship dan kontribusi (Adib, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar