▼
Minggu, 09 Desember 2018
INFRASTRUKTUR KEAIRAN
Bangunan pengaturan sungai
Tanggul
Tanggul adalah salah satu bangunan di sepanjang sungai yang betujuan dalam usaha melindungi kehidupan dan harta benda masyarakat yang disebabkan oleh meluapnya air dari alur sungai
Jenis-jenis tanggul:
Tanggul utama: bangunan tanggul disepanjang kanan-kiri sungai guna menampung debit banjir rencana.
Tanggul sekunder: tanggul yang dibangun sejajar tanggung utama
Tanggu terbuka: tanggul yang dibangun secara tidak menerus (terputus-putus)
Tanggul pemisah: dibangun antara dua sungai yang berdekatan, agar aliran tidak saling mengganggu.
Tanggul melingkar: tanggul yang dibangun untuk melindungi areal yang tidak terlalu luas secara melingkar
Tanggul sirip: tanggul dibangun untuk melindungi areal pertanian pada daerah bantaran, bisa sebagai penghambat kecepatan arus.
Tanggul pengarah: tanggul pengarah arus
Gambarcontoh konstruksi tanggul
Perkuatan lereng
Perkuatan lereng (revetment) adalah bangunan yang ditempatkan pada permukaan suatu lereng guna melindungi suatu tebing alur sungai atau permukaan lereng tanggul dan secara keseluruhan berperan meningkatkan stabilitas alur sungai atau tubuh tanggul yang dilindunginya.
Gambar: Pondasi perkuatan lereng Gambar: Perkuatan lereng dengan turap pancang baja
Gambar: Perkuatan lereng sementara
Konsolidasi pondasi
Konsolidasi pondasi (foundation consolidation) adalah suatu bangunan yang ditempatkan didepan bagian atas pondasi atau yang berupa pelindung kaki perkuatan lereng, agar dapat mengurangi kecepatan arus air di depan perkuatan lereng.
Gambar: Hamparan lindung batu Gambar: Konsolidasi pondasi dari blok beton
Gambar: Konsolidasi pondasi dengan blok beton pra cetak
Krib
Krib adalah bangunan yang dibuat mulai dari tebing sungai ke arah tengah guna mengatur arus sungai dan tujuan utamanya adalah:
Mengatur arah arus sungai
Mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang tebing sungai, mempercepat sedimentasi dan menjamin keamanan tanggul atau tebing sungai terhadap gerusan.
Mempertahankan lebar dan kedalaman air pada alur sungai
Mengkonsentrasikan arus sungai dan memudahka penyadapan.
Gambar: Krib blok beton pra cetak
Ambang
Ambang atau drempel (ground sill) adalah bangunan yang meyilang sungai untuk menjaga agar dasar sungai tidak turun terlalu berkelibihan.
Tipe ambang:
Ambang datar (bed gindle work): terjunan (elevasi mercu) rendah dan berfungsi untuk menjaga agar permukaan dasar sungai tidak turun lagi.
Ambang pelimpah: mempunyai terjunan yang tinggi dan fungsinya untuk lebih melandaikan kemiringan dasar sungai.
Gambar: Ambang
Bangunan pengendali sedimen
Sabo dam
Sabo dam adalah bangunan pencegah alur sungai dari gejala erosi dan turunnya permukaan dasar sungai akibat kemiringan dasar sungai yang curam. Atau biasa disebut sebagai bangunan pengatur yang terbuat dari konstruksi beton, pasangan batu atau bronjong kawat.
Gambar: Sabo dam penahan rusak akibat banjir lahar atau lumpur
Bendung pengendali banjir lahar
Bangunan pencegah sedimen luruh (debris) yang terjadi di daerah pegunungan akibat luapan lahar dari meletusnya gunung berapi. Bangunan ini terdiri dari bendung penahan (bendung utama), kantong-kantong lahar, sub dam, dan lantai lindung.
Gambar: Bendung pengatur alur membentuk trap
Kantong lahar
Bangunan penampung sedimentasi (lahar) untuk selama mungkin atau untuk sementara pada ruangan-ruangan yang dibangun khusus.
Gambar: Kantong lahar.
Bangunan persungaian utama
Bendung
Bendung adalah bangunan yang melintang sungai guna mengatur aliran sungai, meninggikan muka air dan memanfaatkannya guna keperluaan air baku dan pengendalian banjir.
Klasifikasi berdasarkan fungsi:
Bendung pembagi banjir: bangunan untuk mengatur muka air, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit rendah sesuai dengan kapasitas yang telah ditetapkan.
Bendung penahan air pasang: dibangun untuk mencegah masuknya air asin dan untuk menjamin agar aliran sungai senantiasa dalam keadaan normal.
Bendung penyadap: dibangun untuk mengatur muka air dan meyadap airnya untuk keperluan air baku.
Klasisfikasi berdasarkan tipe konstruksi:
Bendung tetap: bendung yang tidak dapat mengatur tinggi dan debit air sungai (mercu tetap)
Bendung gerak: bendung digunakan untuk mengatur tinggi dan debit air sungai dengan pembukaan pintu-pintu yang terdapat pada bendung tersebut.
Bendung kombinasi: bendung yang berfungsi ganda sebagai bendung gerak dan bendung gerak.
Gambar : Bendung tetap
Gambar : Bendung lengkung.
Bendungan
Bendungan adalah bangunan yang dibuat melintang sungai sebagai sarana untuk mengendalikan banjir, melestarikan tanah dan sumber-sumber air serta pengendalian erosi.
Manfaatkan yang diharapkan dari bendungan adalah:
Tempat penampung air untuk persediaan dimusim kemarau dan pada waktu musim hujan dapat mengurangi debit banjir di hilir bendungan.
Tempat pengendapan lumpur dan pasir (sedimen) yang terbawa air sebagai hasil erosi di daerah pengaliran sungai di hulu bendungan.
Sebagian air di waduk ini akan keresap ke dalam tanah dan sekitarnya sehingga memperbesar cadangan air tanah dan memperbesar ketersediaan air pada musim kemarau.
Air waduk dimanfaatkan untuk keperluan irigasi, air baku, perikanan, PLTA, dan tempat rekreasi.
Gambar: Bendungan tipe urugan dan beton
Pintu air
Pintu air (gate, sluice) dibangun memotong tanggul sungai berfungsi sebagai pengatur aliran untuk pembuang (drainase), penyadap dan pengaur lalu lintas air. Konstruksi pintu terbagi 2 (dua) yaitu dalam bentuk pintu saluran terbuka (gate) dan pintu saluran tertutup/terowongan (sluice).
Gambar: Konstruksi dan bagian utama pintu tipe saluran dan terowongan.
Stasiun pompa
Bangunan yang difungsikan untuk memompa air dari daerah yang lebih rendah dan memindahkannya ke daerah yang lebih tinggi, agar genangan akibat banjir dari sungai tidak terlalu lama. Atau menaikan air dari dari alur sungai yang dalam untuk berbagai keperluan di dataran kanan-kiri sungai tersebut.
Gambar: Stasiun pompa drainase
Bangunan penerus dan laluan ikan (fish way)
Bangunan penerus digunakan untuk mengatasi kemiringan dan perbedaan elevasi yang cukup besar sehingga diharapkan permukaan air bisa diatur dengan elevasi yang relatif datar. Bentuk bangunannya merupakan bendung gerak yang berpintu ganda.
Laluan ikan dibuat untuk memberikan kesempatan kepada ikan agar bisa menuju ke daerah udik akibat adaya bangunan bendung atau pintu air.
Gambar: Bangunan penerus Gambar: Laluan ikan
TEKNIS REHABILITASI BANGUNAN KEAIRAN
1. JENIS BANGUNAN
Bangunan sipil umumnya dapat dikelompokkan dalam bangungan gedung dan infrastruktur, bangunan jalan dan drainasi, serta bangunan keairan atau pengairan. Bangunan pengairan minimal dapat dipisahkan dalam 3 kategori yaitu:
1. Bangunan pemanfaatan
Berupa bangunan-bangunan air yang menjadi sarana penggunaan air misalkan bangunan bendung, bendungan, bangunan bagi, bangunan sadap, bangunan prasarana pompa, bangunan pembangkit tenaga, bangunan navigasi dan lain-lain.
2. Bangunan konservasi
Termasuk didalamnya jenis bangunan yang fungsinya mempertahankan/ melindungi eksistensi potensi air misalkan bangunan dam penahan sedimen, bangunan pelindung dasar sungai, bangunan krib, pelimpah, pintu pembagi banjir, tanggul banjir, bangunan retensi.
3. Bangunan fasilitas
Adalah jenis bangunan yang melengkapi sistem jaringan agar dapat berfungsi optimal misalkan jembatan, talang, siphon, gorong-gorong.
Bangunan irigasi termasuk bangunan pemanfaatan yang dapat pula dikelompokkan bangungan pengairan. Disamping bangungan irigasi, yang termasuk dalam bangunan pengairan antara lain:
- bangunan sungai
- bangunan pengatur sedimen (sabo)
- bangunan pengaman pantai dan sebagainya.
Macam/jenis bangunan pengairan antara lain sebagai berikut:
1. Bangunan irigasi
· Bangunan bendung
· Bangunan pengatur tinggi muka air
· Pelimpah
· Bagi
· Sadap
· Corongan
· Terjun
· Terjun miring
· Gorong-rorong
· Jembatan
· Bangunan silang pembuang
· Ttalang
· Got miring
· Tangga cuci
· Tempat mandi hewan
· Pemasukan
· Penguras
· Plat pelayanan
2. Bangunan sungai
· Jembatan
· Pemasukan
· Pintu bagi
· Tanggul
· Dinding penahan/parapet
3. Bangunan pengatur sedimen
· Chek dam
· Sabo dam
· Slit dam
4. pengaman pantai
· Jetty
· Krib sejajar pantai, dsb.
2. SISTEM JARINGAN BANGUNAN KEAIRAN
Yang termasuk dalam jaringan bangunan keairan antara lain adalah saluran, bangunan, areal irigasi beserta bangunan fasilitas lainnya. Pengelolaan bangunan pengairan tidak dapat dilaksanakan per satuan ruas tertentu namun harus satu kesatuan sistem. Istilah yang digunakan dalam pengelolaan bangunan pengairan adalah one river one plan one management demikian juga dalam konteks pengelolaan bangunan irigasi. Pengelolaan yang terintegrasi, holistik dan berkesinambungan akan memberikan nilai positif bukan hanya dalam skala ruang (ruas - per ruas) namun juga dalam skala waktu. Pelaksanaan otonomi daerah perlu mencermati pelaksanaan pengelolaan jaringan irigasi yang lintas kabupaten (yang dilaksananakan oleh Propinsi) dengan penekanan bahwa kabupaten di bagian hulu juga merupakan satu kesatuan sistem dengan wilayah irigasi kabupaten di bagian hilir.
3. TAHAPAN PEMBANGUNAN
Tahapan pengelolaan bangunan irigasi, drainasi atau bangunan sipil pada umumnya dapat disederhanakan sebagai berikut:
· Studi Kelayakan
· Survai Investigasi dan Desain
· Pembebasan Tanah (jika ada)
· Pelaksanaan Konstruksi
· Operasi dan Pemeliharaan
· Monitoring
· Evaluasi
Tahapan kegiatan ini akan berulang sebagaimana siklus, jika pada saat pelaksanaan evaluasi memutuskan untuk mengadakan perbaikan/rehabilitasi.
Dinas PU di Propinsi Jawa Tengah dalam melaksanakan tahapan kegiatan tersebut diatas telah menciptakan mekanisme sistem kontrol dan penjaminan mutu (quality insurance), dengan demikian kinerja bangunan sudah dirancang sedemikian sempurna sejak tahapan kegiatan paling awal. Konsekuensinya sistem pemeriksaan seharusnya dilakukan sejak tahapan awal dari mulai dari Survai Investigasi Desain dan tidak dapat ditentukan tanpa melihat prosesnya.
4. KINERJA BANGUNAN KEAIRAN
Keberfungsian bangunan
Bangunan keairan adalah sistem yang terintegrasi dalam satu kesatuan yang sinergi. Berbeda dengan bangunan sipil lainnya, bangunan irigasi jarang bisa berfungsi sebagai single structure, biasanya bangunan irigasi berfungsi sesuai dengan rencana jika sistem yang terkait dengan bangunan tersebut juga berfungsi normal. Lebih lanjut untuk mengadakan pemeriksaan bangunan irigasi dalam konteks satu sitem maka perlu dilakukan peninjauan ke seluruh jaringan.
Pemeriksaan keberfungsian bangunan irigasi dapat dilaksanakan satu-persatu atau kasus-perkasus namun dalam konteks sistem jaringan akan lebih tepat pemeriksaan/evaluasinya jika dilaksanakan untuk keseluruhan sistem. Untuk memudahkan pemeriksaan bangunan irigasi akan dilakukan dalam dua tahapan yaitu:
· pemeriksaan terhadap fungsi bangunan
· pemeriksaan terhadap struktur bangunan
Pemeriksaan terhadap fungsi bangunan secara sederhana adalah untuk menjawab pertanyaan apakah bangunan dapat berfungsi sebagaimana yang direncanakan? Sedang pemeriksaan terhadap struktur bangunan lebih mengarah kepada apakah kualitas konstruksi sesuai dengan spesifikasi teknis yang disyaratkan ? Dua paradigma pemeriksaan bangunan akan dikenalkan untuk memudahkan evaluasi dan membuat keputusan apakan bangunan sudah layak untuk dioperasikan? (pengertian feasible ditinjau berdasarkan kriteria teknis, ekonomi dan sosial)
Secara sederhana pemeriksaan bangunan irigasi secara fungsi dapat dikelompokkan dalam 4 kategori (reff. pekerjaan inventarisasi jaringan irigasi Bank Dunia oleh Konsultan JICA, 2002), yaitu sebagai berikut:
· Bangunan berfungsi dengan baik
· Bangunan masih dapat berfungsi dengan kendala
· Bangunan tidak dapat berfungsi dengan baik
· Bangunan sama sekali tidak dapat berfungsi
Dalam kondisi tertentu bangunan irigasi secara konstruksi/struktur keadaannya baik, namun tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana. Untuk mengatasi keadaan ini maka perlu review penataan sistem jaringan bila tidak memungkinkan maka bangunan akan sepenuhnya diperbaharui.
Kualitas bangunan
Kondisi fisik bangunan irigasi dapat berubah oleh karena berbagai sebab antara lain faktor internal misalkan karena keterbatasan kemampuan bangunan itu sendiri dan sebab dari luar misalkan erosi, cuaca, beban berlebihan, gaya external yang tak direncanakan. Kondisi diartikan sebagai gambaran utuh mengenai kondisi bangunan baik dilaksanakan secara visual maupun dideteksi di laboratorium bangunan. Sampai saat ini tidak ada pedoman yang baku mengenai tatacara penentuan kondisi fisik yang mengarah kepada kualitas bangunan, namun demikian secara umum hasil studi Monenco (1984) memberikan acuan penilaian kondisi fisik bangunan sebagai berikut:
No
Kondisi fisik
Penilaian kondisi fisik
1
2
3
4
5
Baik
Cukup
Rusak ringan
Rusak sedang
Rusak berat
86 100 %
66 85,9 %
45 65,9 %
26 45,9 %
0 25,9 %
Penilaian kondisi fisik ini ditentukan dengan suatu kriteria teknis. Kriteria penilaian kondisi fisik untuk masing-masing bangunan dijabarkan secara khusus/berbeda untuk masing-masing jenis bangunan yang akan secara detail dilaksanakan oleh ahli bangunan. Secara umum kriteria besarnya angka prosentase penilaian didasarkan kepada beberapa hal yaitu:
· Besarnya biaya untuk mereparasi/merehabilitasi
· Akibat/konsekuensi dari kerusakan/penurunan kondisi bangunan
· Jangka waktu pelaksanaan
· Metode atau tingkat kesulitan pelaksanaan
· Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, dan sebagainya.
5. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT
Penilaian kondisi jaringan (bangunan/saluran) keairan hanyalah salah satu tahapan dalam pengelolaan sistem irigasi. Hasil penilaian ini perlu segera diikuti dengan kegiatan tindak lanjut terlepas dari besaran/tingkat kondisi bangunan. Berikut ini disajikan informasi langkah-langkah kegiatan yang akan dilaksanakan berdasar hasil evaluasi kondisi. Jika bangunan sudah pernah berfungsi dengan baik maka konteks pengembalian fungsi dan kondisi bangunan dimudahkan dengan cakupan kegiatan pemeliharaan (maintenance)dan bukan pembangunan kembali (re-build). Bentuk kegiatan pemeliharaan dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu:
Pemelihaaraan sungai secara teknis dapat dikelompokkan dalam 3 tingkatan:
1. Pemeliharaan preventip
- Pemeliharaan rutin
- Pemeliharaan berkala
- Reparasi
2. Pemelihaaraan korektip
- Pemeliharaan khusus
- Rehabilitasi
- Rektifikasi
3. Pemeliharaan darurat
Penjelasan msing-masing kegiatan secara singkat adalah sebagai berikut:
1. Pemeliharaan Preventip
Pemeliharaan preventip, yaitu kegiatan yang dimaksudkan untuk melestarikan fungsi saluran maupun bangunan secara optimal.
Kriteria umum dari pemeliharaan preventip adalah:
a. Dilakukan terhadap bangunan yang kondisinya sudah mantap
b. Pemeliharaan perlu dilakukan secara terus menerus atau kontinyu
c. Terdiri dari pekerjaan pemeliharaan yang sederhana sehingga tidak memerlukan kelengkapan perhitungan disain maupun tim konsultan perencana.
d. Tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan fungsi bangunan
Agar tingkat layanan suatu bangunan dapat dipertahankan, maka pemeliharaan preventip ini perlu dilaksanakan secara tertib dan terprogram dari waktu ke waktu tanpa menunggu gejala penurunan kondisi dan kestabilan struktur bangunan yang menyolok. Dengan demikian segala kebutuhan yang diperlukan untuk melaksanakannya dapat diprogramkan secara pasti.
Jenis kegiatan pemeliharaan preventip berupa:
a. Pemeliharaan rutin, yaitu keseluruhan pekerjaan yang dilakukan berulang ulang setiap tahun diatur berdasarkan jadwal misalnya:
- Membersihkan kotoran, semak dan tanaman liar yang menempel pada bangunan
- Memelihara gebalan rumput pada permukaan lereng tanggul
- Membuang sampah dan sangkrah yang mengganggu kelancaran pengoperasian bangunan.
b. Pemeliharaan berkala, yaitu Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung dari waktu ke waktu dan berjaian menurut interval waktu terputus-putus dengan tujuan melestarikan memelihara fungsi dan sarana-sarana yang tersedia, misalnya :
- pengecetan pintu bangunan
- servise besar pada instalasi pompa banjir
- overhaul kendaraan dan alat berat
c. Reparasi atau perbaikan kecil
Kegiatan berskala kecil yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangunan agar kondisinya sesuai dengan kapasitas rencana yang disebabkan oleh kerusakan kecil, misalnya:
- Memperbaiki tanggul yang amblas atau permukaannya rusak
- Perbaikan pada bagian konstruksi pasangan batu yang lepas,
- Reparasi pintu angkat yang macet
- Memperbaiki jalan inspeksi
- Perbaikan AWLR atau staff gauge
2. Pemeliharaan Korektip
Pemeliharaan korektip yaitu lebih mendasar dikerjakan untuk mendapatkan bangunan seperti kondisi waktu dibangun.
Kriteria umum dari pemeliharaan korektip adalah:
a. Dilakukan pada bangunan sungai yang kondisi strukturnya mengalamikerusakan berat sehingga nilai kinerjanya kurang dari 70%.
b. Dilakukan apabila pemeliharaan rutin dipandang sudah tidak efisien lagi
c. Bertujuan mengembalikan dan menyempurnakan fungsi bangunan pada tingkat kemampuan layanan semula (tidak melampaui kemampuan layanan Rencana).
d. Kebutuhan pemeliharaannya didasarkan pada perhitungan perencanaan struktur dan analisa biaya secara khusus (tidak dapat distandardkan).
Pemeliharaan korektip dapat dibagi kedalam 3 bagian yaitu:
a. Pemeliharaan khusus, yaitu pekerjaan perbaikan berat yang perlu dilakukan setelah nilai kinerja suatu bangunan atau bagian bangunan sudah berada dibawah 70% dari Rencana sehingga pekerjaan pemelihaaraan preventip sudah tidak efisien lagi.
b. Rehabilitasi, yaitu pekerjaan perbaikan kerusakan bangunan dalam rangka mengembalikan fungsi bangunan yang nilai kinerjanya kurang dari 50%, menuju kepada kondisi semula tanpa merubah sistem dan tingkat layanan bangunan.
c. Rektifikasi, adalah pekerjaan pembetulan/koreksi atau penyempurnaan dalam skala terbatas guna menyempurnakan fungsi dan nilai kinerja suatu bangunan atau sistem jaringan.
Yang termasuk dalam kategori rektifikasi, misalnya: menambah bangunan baru atau mengubah panjang saluran dalam rangka antisipasi erosi/longsoran.
Rektifikasi ini diperlukan mengingat banyaknya fenomena alam yang sampai kini belum terpecahkan model matematisnya, sehingga pada waktu merencanakannya banyak dilakukan asumsi yang belum tentu tepat.
3. Pemeliharaan Darurat
Pemeliharaan darurat adalah pemeliharaan yang perlu dikerjakan pada waktu yang sangat mendesak dengan kualitas pekerjaan yang benarbenar darurat.
Kriteria umum pekerjaan pemeliharaan darurat adalah :
a. Dilaksanakan pada bagianbagian bangunan sungai yang mengalami perubahan atau gangguan yang bersifat mendadak
b. Dilaksanakan pada kondisi darurat (bencana banjir, tanah longsor,dll).
c. Mutu hasil kerjanya bersifat darurat dan tidak perlu didukung dengan analisis perencaanaan yang mendetail
Pekerjaan pemeliharaan darurat tidak dapat diprogramkan sesuai keperluan, karena terjadinya kerusakan bangunan sungai bersifat mendadak dan gejalanya tidak diketahui sebelumnya, misalnya pada saat banjir, tanah longsor atau bencana lainnya.
6. PENGAWASAN PEMBANGUNAN
Manajemen atau pengelolaan bangungan keairan pada saat ini hanya dipusatkan pada kegiatan Operasional, Pemeliharaan, Optimalisasi dan Rehabilitasi. Salah satu kelompok penganganan yang membutuhkan kecermatan dan konsekuensi biaya yang cukup besar adalah Pemeliharaan dan Rehabilitasi.
Salah satu cara untuk melaksanakan pengawasan pada tahap pelaksanaan konstruksi dapat dimudahkan dengan menggunakan perangkat Rencana Mutu Kontrak Pekerjaan, sedang dokumen pendukung yang diperlukan meliputi :
Buku Kontrak Pekerjaan
Gambar Pelaksanaan (Shop drawings)
Buku Spesifikasi Teknis Umum dan Spesifikasi Teknis Khusus
Laporan Mutual Cek.
Prosedur Pengawasan dapat dilakukan pada tiga tenggang waktu yaitu pada saat awal pelaksanaan (MC 0), masa pertengahan (MC 50) dan pada saat akhir masa kontrak (MC 100).
Senin, 03 Desember 2018
KONSEP DASAR PROFESI
1. Hakikat Profesi Kependidikan
Secara umum yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah orang-orang yang berkecimpung dengan peserta didik dan peduli dengan masalah-masalah kependidikan serta memiliki tugas dan wewenang tertentu di bidang kependidikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peraturan pemerintah no. 38/1992 tentang tenaga kependidikan di atur tentang jenis, jenjang, wewenang, pengadaan, penugasan dan pemberhentian, pembinaan dan pengembangan, kesejahteraan, kedudukan dan penghargaan, dan ikatan profesi tenaga kependidikan. Berdasarkan peraturan pemerintah no. 38/1992, sebagai berikut
Pasal yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah:
Ayat 1: tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ayat 2: tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang bertugas membimbing, mengajar, dan/atau melatih peserta didik.
Ayat 3: terjelaskan bahwa tenaga pembimbing adalah tenaga pendidik yang bertugas utama membimbing peserta didik.
Ayat 4: tenaga pengajar adalah pendidik yang bertugas utama mengajar peserta didik.
Ayat 5:tenaga pendidik adalah tenaga pendidik yang bertugas melatih peseta didik.
Pasal 3: peraturanpemerintah no. 38/1992 menjelaskan tentang jenis tenaga kependidikan, terdiri atas:
Ayat 1: tenaga kependidikan terdiri atas tenaga pendidik, penilik, pengawas, pengawas dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar dan penguji.
Ayat 2: tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar, dan pelatih.
Ayat 3: pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, rektor.
2. Harapan Dan Tantangan Profesi Tenaga Kependidikan
Salah satu ciri profesi adalah kontrol yang ketat atas para anggotanya. Suatu profesi ada dan diakui masyarakat karena ada usaha dari para anggotanya untuk menghimpun diri. Lewat organisasi itu, profesi dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan yang bisa membahayakan keutuhan dan wibawa profesi tersebut. Kode etikpun disusun dan disepakati oleh para anggotanya. Maka suatu orgnisasi profesi menyerupai suatu sistem yang senantiasa memperhatikan kondisi harmonis. Ia akan menendang keluar komponen sistem yang tidak mengikuti arus atau meluruskannya. Dalam praktek keorganisasian, anggota yang mencoba melanggar aturan main organisasi, akan diperingatkan, bahkan dipecat. Jadi, dalam suatu organisasin profesi, ada aturan yang jelas dan ada sanksi bagi pelanggar aturan.
Profesi diri mempunyai pengertian penyerahan, pengabdian penuh pada suatu jenis pekerjaan yang mengaplikasikan tanggung jawab pada diri sendiri, dan orang lain. Seseorang profesional bukan hanya bekerja, melainkan ia tahu mengapa dan untuk apa ia bekerja serta bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan profesi mengajar/ keguruan/ kependidikan sulit menggapai posisi tanggung dan terhormat, yaitu sebagai berikut.
Sulit sekali didefinisikan apa sebenarnya profesi mengajar itu dan apa bidang garapannya yang khas.
Sejarah mengajar dan guru memang kabur.
Penambahan jumlah guru besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikontrol dan dijaga.
PGRI sebagai satu-satunya organisasi yang beranggotkan guru di indonesia cenderung bergerak dipertengahan antara pemerintah dan guru-guru.
Tuntutan masyarakat yang selalu berubah-ubah membuat guru makin tertantang.
Disamping permasalahan umum yang di alami oleh profesi kependidikan tu sendiri, ada lagi beberapa hal yang menyebabkan profesi kependidikan sulit mencapai posisi tangguh yaitu:
Mengacu pada peraturan pemerintah (PP) tentang tenaga kependidikan terdiri atas pendidik yaitu pembimbing, pengajar dan pelatih.
Buku-buku sumber yang dicantumkan dalam silabus baik yang wajib maupun penunjang cukup banyak, tetapi dalam kenyataannya buku yang ada dan mudah didapatkan mahasiswa cumlahnya terbatas.
Kegiatan perkuliahan baru efektif pada minggu ke tiga, sedangkan silabus dirancang untuk 18 kali pertemuan.
Bervariasinya latar belakang mahasiswa yang mengambil mata kuliah seperti prodi, tahun masuk/angkatan (semester 4,6,8), dan jumlah peserta kuliah.
Urutaan pengambilan keempat mata kuliah MKB yang kurang tegas dalam buku pedoman.
Sistem ujian yang terpusat, sedangkan dosen yang mengajar bervariasi sehingga sulit ditentukan tingkat penguasaannya.
3. Pengertian Profesi
1. Profesi
Profesi pada hakekatnya adalah suatu pernyataan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanankarena orang tersebut merasa terpanggiluntuk mengerjakan pekerjaan itu.
Istilah profesi dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk menunjukkan tentang pekerjaan seseorang. Seseorang yang bekerja sebagai dokter,dikatakan profesinya sebagai dokter dan orang yang pekerjaannya mengajar di sekolah dikatakan profesinya sebagai Guru.Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa profesinya sebagai tukang batu,tukang parkir,pengamen,penyanyi,pedagang dan sebagainya.Jadi istilah profesi dalam konteks ini , sama artinya dengan pekerjaan atau tugas yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut ornstein dan levine (1984) bahwa suatu pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi bila pekerjaan atau jabatan itu dilakukan dengan :
Melayani masyarakat merupakan merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang melakukannya).
Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori praktik (teori baru dikembangkandari hasil penelitian).
Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
Terkendali berdasarkan lisensi baku dan mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentuatau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).
Otonomi dalam mebuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu(tidak diatur oleh orang lain).
Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan tampilan untuk kerjanya berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya,tidak dipindahkan keatasan instansi yang lebih tinggi).Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
Menggunakan administrator untuk memudahkan profesi,relatif bebas dari super vise dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien,sementara tidak ada supervise dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).
Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri
.
Pengertian profesi yang senada dengan pengertian di atas, Sanusi dkk (1991) mengutarakan ciri-ciri utama suatu profesi sebagai berikut:
Suatu jabatan memiliki fungsi signifikasi social yang menentukan(crusial).
Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui
pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas sistematik dan explicit,bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
Jabatan itu memerlukan pendidikan perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
Dalam memberikan layanan kepada masyarakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dicontrol oleh organisasi profesi.
Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.Dalam prakteknya melayani masyarakat,anggota profesi otonom
bebas dari campur tangan orang lain.
Jabatan itu mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat oleh karenanya memperoleh imbalan tinggi pula.
4. Tenaga Pendidik sebagai Profesi
Rakenas Depdiknas setiap tahun selalu menggaris bawahi pentingnya peningkatan profesionalisme guru. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Depdiknas terhadap guru dan sekaligus penguatan, betapa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam keseluruhan upaya pendidikan.
Memang kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana dan faktor-faktor instrumental lainnya. Akan tetapi, semua itu pada akhirnya tergantung pada kualitas pengajaran, dan kualitas pengajaran tergantung pada kualitas guru.
5. Sejarah Perkembangan Profesi Kependidikan
Nasution(Sucipto,Kosasi,dan Abimanyu,1994)dengan jelas melukiskan sejarah pendidikan di indonesia terutama pada saman colonial belanda termasuk juga sejarah profesi kependidikan.Pada awalnya,orang-orang diangkat menjadi guru belum berpendidikan khusus keguruan,dan secara perlahan-lahan tenaga guru ditambah dengan mengangkat dari lulusan guru(kweek school)yang pertama kali didirikan di SOLO pada tahun 1852.karena kebutuhan penambahan sejumlah guru yang semakin mendesak,maka pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru,yaitu:
Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh.
Guru yang bukan lulusan sekolah guru, tapi lulus ujian yang diadakan menjadi guru.
Guru bantu, yang lulus ujian guru bantu.
Guru yang dimagangkan kepada guru senior, yang merupakan calon guru.
Guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak berasal dari warga yang pernah mengecap pendidikan.
Secara umum yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah orang-orang yang berkecimpung dengan peserta didik dan peduli dengan masalah-masalah kependidikan serta memiliki tugas dan wewenang tertentu di bidang kependidikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peraturan pemerintah no. 38/1992 tentang tenaga kependidikan di atur tentang jenis, jenjang, wewenang, pengadaan, penugasan dan pemberhentian, pembinaan dan pengembangan, kesejahteraan, kedudukan dan penghargaan, dan ikatan profesi tenaga kependidikan. Berdasarkan peraturan pemerintah no. 38/1992, sebagai berikut
Pasal yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah:
Ayat 1: tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ayat 2: tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang bertugas membimbing, mengajar, dan/atau melatih peserta didik.
Ayat 3: terjelaskan bahwa tenaga pembimbing adalah tenaga pendidik yang bertugas utama membimbing peserta didik.
Ayat 4: tenaga pengajar adalah pendidik yang bertugas utama mengajar peserta didik.
Ayat 5:tenaga pendidik adalah tenaga pendidik yang bertugas melatih peseta didik.
Pasal 3: peraturanpemerintah no. 38/1992 menjelaskan tentang jenis tenaga kependidikan, terdiri atas:
Ayat 1: tenaga kependidikan terdiri atas tenaga pendidik, penilik, pengawas, pengawas dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar dan penguji.
Ayat 2: tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar, dan pelatih.
Ayat 3: pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, rektor.
2. Harapan Dan Tantangan Profesi Tenaga Kependidikan
Salah satu ciri profesi adalah kontrol yang ketat atas para anggotanya. Suatu profesi ada dan diakui masyarakat karena ada usaha dari para anggotanya untuk menghimpun diri. Lewat organisasi itu, profesi dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan yang bisa membahayakan keutuhan dan wibawa profesi tersebut. Kode etikpun disusun dan disepakati oleh para anggotanya. Maka suatu orgnisasi profesi menyerupai suatu sistem yang senantiasa memperhatikan kondisi harmonis. Ia akan menendang keluar komponen sistem yang tidak mengikuti arus atau meluruskannya. Dalam praktek keorganisasian, anggota yang mencoba melanggar aturan main organisasi, akan diperingatkan, bahkan dipecat. Jadi, dalam suatu organisasin profesi, ada aturan yang jelas dan ada sanksi bagi pelanggar aturan.
Profesi diri mempunyai pengertian penyerahan, pengabdian penuh pada suatu jenis pekerjaan yang mengaplikasikan tanggung jawab pada diri sendiri, dan orang lain. Seseorang profesional bukan hanya bekerja, melainkan ia tahu mengapa dan untuk apa ia bekerja serta bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan profesi mengajar/ keguruan/ kependidikan sulit menggapai posisi tanggung dan terhormat, yaitu sebagai berikut.
Sulit sekali didefinisikan apa sebenarnya profesi mengajar itu dan apa bidang garapannya yang khas.
Sejarah mengajar dan guru memang kabur.
Penambahan jumlah guru besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikontrol dan dijaga.
PGRI sebagai satu-satunya organisasi yang beranggotkan guru di indonesia cenderung bergerak dipertengahan antara pemerintah dan guru-guru.
Tuntutan masyarakat yang selalu berubah-ubah membuat guru makin tertantang.
Disamping permasalahan umum yang di alami oleh profesi kependidikan tu sendiri, ada lagi beberapa hal yang menyebabkan profesi kependidikan sulit mencapai posisi tangguh yaitu:
Mengacu pada peraturan pemerintah (PP) tentang tenaga kependidikan terdiri atas pendidik yaitu pembimbing, pengajar dan pelatih.
Buku-buku sumber yang dicantumkan dalam silabus baik yang wajib maupun penunjang cukup banyak, tetapi dalam kenyataannya buku yang ada dan mudah didapatkan mahasiswa cumlahnya terbatas.
Kegiatan perkuliahan baru efektif pada minggu ke tiga, sedangkan silabus dirancang untuk 18 kali pertemuan.
Bervariasinya latar belakang mahasiswa yang mengambil mata kuliah seperti prodi, tahun masuk/angkatan (semester 4,6,8), dan jumlah peserta kuliah.
Urutaan pengambilan keempat mata kuliah MKB yang kurang tegas dalam buku pedoman.
Sistem ujian yang terpusat, sedangkan dosen yang mengajar bervariasi sehingga sulit ditentukan tingkat penguasaannya.
3. Pengertian Profesi
1. Profesi
Profesi pada hakekatnya adalah suatu pernyataan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanankarena orang tersebut merasa terpanggiluntuk mengerjakan pekerjaan itu.
Istilah profesi dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk menunjukkan tentang pekerjaan seseorang. Seseorang yang bekerja sebagai dokter,dikatakan profesinya sebagai dokter dan orang yang pekerjaannya mengajar di sekolah dikatakan profesinya sebagai Guru.Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa profesinya sebagai tukang batu,tukang parkir,pengamen,penyanyi,pedagang dan sebagainya.Jadi istilah profesi dalam konteks ini , sama artinya dengan pekerjaan atau tugas yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut ornstein dan levine (1984) bahwa suatu pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi bila pekerjaan atau jabatan itu dilakukan dengan :
Melayani masyarakat merupakan merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang melakukannya).
Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori praktik (teori baru dikembangkandari hasil penelitian).
Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
Terkendali berdasarkan lisensi baku dan mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentuatau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).
Otonomi dalam mebuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu(tidak diatur oleh orang lain).
Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan tampilan untuk kerjanya berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya,tidak dipindahkan keatasan instansi yang lebih tinggi).Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
Menggunakan administrator untuk memudahkan profesi,relatif bebas dari super vise dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien,sementara tidak ada supervise dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).
Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri
.
Pengertian profesi yang senada dengan pengertian di atas, Sanusi dkk (1991) mengutarakan ciri-ciri utama suatu profesi sebagai berikut:
Suatu jabatan memiliki fungsi signifikasi social yang menentukan(crusial).
Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui
pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas sistematik dan explicit,bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
Jabatan itu memerlukan pendidikan perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
Dalam memberikan layanan kepada masyarakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dicontrol oleh organisasi profesi.
Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.Dalam prakteknya melayani masyarakat,anggota profesi otonom
bebas dari campur tangan orang lain.
Jabatan itu mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat oleh karenanya memperoleh imbalan tinggi pula.
4. Tenaga Pendidik sebagai Profesi
Rakenas Depdiknas setiap tahun selalu menggaris bawahi pentingnya peningkatan profesionalisme guru. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Depdiknas terhadap guru dan sekaligus penguatan, betapa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam keseluruhan upaya pendidikan.
Memang kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana dan faktor-faktor instrumental lainnya. Akan tetapi, semua itu pada akhirnya tergantung pada kualitas pengajaran, dan kualitas pengajaran tergantung pada kualitas guru.
5. Sejarah Perkembangan Profesi Kependidikan
Nasution(Sucipto,Kosasi,dan Abimanyu,1994)dengan jelas melukiskan sejarah pendidikan di indonesia terutama pada saman colonial belanda termasuk juga sejarah profesi kependidikan.Pada awalnya,orang-orang diangkat menjadi guru belum berpendidikan khusus keguruan,dan secara perlahan-lahan tenaga guru ditambah dengan mengangkat dari lulusan guru(kweek school)yang pertama kali didirikan di SOLO pada tahun 1852.karena kebutuhan penambahan sejumlah guru yang semakin mendesak,maka pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru,yaitu:
Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh.
Guru yang bukan lulusan sekolah guru, tapi lulus ujian yang diadakan menjadi guru.
Guru bantu, yang lulus ujian guru bantu.
Guru yang dimagangkan kepada guru senior, yang merupakan calon guru.
Guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak berasal dari warga yang pernah mengecap pendidikan.
Minggu, 02 Desember 2018
PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA
PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA
Potensi dan Permasalahan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dan Wilayah Pesisir
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) membutuhkan keterpaduan dari hulu hingga hilir, sinergitas antar sektor dan lembaga, serta keterlibatan antar stakeholder dari masyarakat, swasta dan pemerintah. Sementara itu, kawasan pesisir merupakan salah satu komponen penting dari hilir sebuah DAS. Pengelolaan kawasan pesisir selama ini masih terpisah dari pengelolaan DAS itu sendiri. Untuk itu, perlu dilakukan keterpaduan perencanaan pengelolaan pesisir dan Daerah Aliran Sungai.
Dengan menggunakan pendekatan ekologi, keruangan (spatial) dan komplek wilayah, buku ini memperkenalkan suatu analisis terpadu untuk pengelolaan DAS dan wilayah pesisir. Sub DAS Kuto, Damar dan Blukar di wilayah Kabupaten Batang dan Kendal dipilih sebagai daerah studi kasus. Buku ini menyajikan analisis pendahuluan dari berbagai aspek yang meliputi kondisi fisik lingkungan, potensi bahaya, sosial ekonomi, kelembagaan dan potensi pariwisata pada kawasan DAS dan pesisir.
Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian yang menjelaskan tentang 1) kondisi fisik di Sub DAS Kuto, Damar dan Blukar (KDB), 2) menjelaskan permasalahan lingkungan di kawasan Sub DAS KDB untuk mengetahui kekritisan DAS, 3) memberikan analisa karakteristik sosial ekonomi dan sinergisme kelembagaan sebagai suatu bentuk pengelolaan DAS terpadu, 4) memberikan gambaran kerentanan, persepsi dan kapasitas masyarakat terhadap bencana alam banjir dan longsor di Sub DAS KDB, serta 5) melakukan inventarisasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir.
Sub DAS KDB dipilih sebagai daerah studi, dengan pertimbangan kondisi kekritisan DAS didaerah tersebut dan kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Pembahasan kondisi fisik menjelaskan tentang lingkungan fisik di Sub DAS KDB dan wilayah pesisirnya. Identifikasi permasalahan di lingkungan Sub DAS KDB dibatasi pada pembahasan potensi banjir limpasan, banjir genangan, longsor, erosi dan kerentanan airtanah. Sementara itu, analisis sosial ekonomi dan sinergisme kelembagaan membahas tentang hubungan antara kemiskinan dengan kekritisan DAS, hubungan tingkat kekotaan dengan kekritisan DAS , hubungan tingkkat pendidikan dengan tingkat kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan DAS, pemetaan kelembagaan, sinergisme kelembagaan dan lain sebagainya. Sedangkan pembahasan kerentaan, persepsi dan kapasitas masyarakat difokuskan pada tema bencana banjir dan tanah longsor. Buku ini diakhiri dengan pembahasan mengenai inventarisasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir.
Potensi dan Permasalahan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dan Wilayah Pesisir
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) membutuhkan keterpaduan dari hulu hingga hilir, sinergitas antar sektor dan lembaga, serta keterlibatan antar stakeholder dari masyarakat, swasta dan pemerintah. Sementara itu, kawasan pesisir merupakan salah satu komponen penting dari hilir sebuah DAS. Pengelolaan kawasan pesisir selama ini masih terpisah dari pengelolaan DAS itu sendiri. Untuk itu, perlu dilakukan keterpaduan perencanaan pengelolaan pesisir dan Daerah Aliran Sungai.
Dengan menggunakan pendekatan ekologi, keruangan (spatial) dan komplek wilayah, buku ini memperkenalkan suatu analisis terpadu untuk pengelolaan DAS dan wilayah pesisir. Sub DAS Kuto, Damar dan Blukar di wilayah Kabupaten Batang dan Kendal dipilih sebagai daerah studi kasus. Buku ini menyajikan analisis pendahuluan dari berbagai aspek yang meliputi kondisi fisik lingkungan, potensi bahaya, sosial ekonomi, kelembagaan dan potensi pariwisata pada kawasan DAS dan pesisir.
Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian yang menjelaskan tentang 1) kondisi fisik di Sub DAS Kuto, Damar dan Blukar (KDB), 2) menjelaskan permasalahan lingkungan di kawasan Sub DAS KDB untuk mengetahui kekritisan DAS, 3) memberikan analisa karakteristik sosial ekonomi dan sinergisme kelembagaan sebagai suatu bentuk pengelolaan DAS terpadu, 4) memberikan gambaran kerentanan, persepsi dan kapasitas masyarakat terhadap bencana alam banjir dan longsor di Sub DAS KDB, serta 5) melakukan inventarisasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir.
Sub DAS KDB dipilih sebagai daerah studi, dengan pertimbangan kondisi kekritisan DAS didaerah tersebut dan kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Pembahasan kondisi fisik menjelaskan tentang lingkungan fisik di Sub DAS KDB dan wilayah pesisirnya. Identifikasi permasalahan di lingkungan Sub DAS KDB dibatasi pada pembahasan potensi banjir limpasan, banjir genangan, longsor, erosi dan kerentanan airtanah. Sementara itu, analisis sosial ekonomi dan sinergisme kelembagaan membahas tentang hubungan antara kemiskinan dengan kekritisan DAS, hubungan tingkat kekotaan dengan kekritisan DAS , hubungan tingkkat pendidikan dengan tingkat kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan DAS, pemetaan kelembagaan, sinergisme kelembagaan dan lain sebagainya. Sedangkan pembahasan kerentaan, persepsi dan kapasitas masyarakat difokuskan pada tema bencana banjir dan tanah longsor. Buku ini diakhiri dengan pembahasan mengenai inventarisasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir.
PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN
Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas yang berbeda seperti dua sisi dari satu keping mata uang logam. Kejadian tersebut silih berganti, bahkan diprakirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang terkena pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang terkena mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 1997 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino kuat sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha.
Sementara di Jawa kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dengan kemampuan memasok 50-55% produksi padi nasional, sebagian besar lahan sawah beririgasi dan tadah hujan yang rawan kekeringan 1. 448 829 ha (42%), rawan banjir 340 698 ha (9%), rawan banjir dan kekeringan 427 894 ha (13%), dan hanya 36% yang tidak rawan. Proporsi ini dipastikan akan terus memburuk karena lahan yang sampai saat ini belum rawan banjir dan kekeringan dapat berubah menjadi rawan banjir, rawan kekeringan atau rawan keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa banjir dan kekeringan merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan secara bertahap dengan mengerahkan segala sumberdaya dan semua pemangku kepentingan.
Paling tidak ada enam argumen yang mendasari disusunnya buku cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif ini: (i) peningkatan luas wilayah persawahan yang terkena banjir dan kekeringan, dengan dampak penurunan produksi sampai gagal panen (puso) terus meningkat (ii) terjadi banjir dan kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal (iii) transisi dan periode ulang (return period) anomali iklim cenderung acak (randomized), sehingga sangat menyulitkan dalam adaptasi (iv) kekeringan dan banjir berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama (v) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah dan antar waktu (vi) banjir dan kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya tetapi tidak dapat dihilangkan, sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
Berdasarkan ilustrasi kompleksitas, dinamika dan dampak masalah banjir dan kekeringan, maka diperlukan pengelolaan partisipatif dengan memberikan hak dan kewajiban yang proporsional terhadap semua pemangku kepentingan dengan menekankan tindakan penyesuaian dan anitisipatif agar risiko yang ditimbulkan dapat direduksi dan diantisipasi lebih dini.
Penyebab Banjir dan Kekeringan serta sebaran Wilayah Banjir dan Kekeringan.
menguraikan tentang Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi Padi. Dampak banjir dan kekeringan menunjukkan kecenderungan peningkatan luas areal terkena dan puso serta Kejadian banjir dan kekeringan yang berulang di tahun yang sama dan lokasi yang sama sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap penurunan produksi pertanian khususnya padi.
menguraikan tentang Kerangka Pikir Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional yang difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
Berdasarkan data pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan, maka ada tiga faktor dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan yaitu faktor klimatologis, hidrologis dan agronomis. Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis dominan keragaman iklim penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir jika pendinginan (La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD positif menyebabkan penurunan di wilayah Indonesia bagian selatan, sedangkan IOD negatif menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi di wilayah yang sama. Sementara MJO akan berpengaruh pada awal musim hujan yang dimulai dari bagian barat Sumatera bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis. Implikasinya, terjadinya kelebihan air pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau, sehingga menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah mengalami puso.
Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan. Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani, diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.
BANJIR DAN KEKERINGAN
A. Pengertian Banjir dan Kekeringan
Banjir adalah tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian.
B. Penyebab Banjir dan Kekeringan
Secara faktual faktor determinan penyebab banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim, terganggunya keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah, intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama di daerah hilir yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan penangkap air di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis akibat menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan. Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam. Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam dan pemilihan jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai pada lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan ataupun areal gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu liar adalah puso. Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan (habit) petani yang memilih memaksakan menanam padi walaupun ketersediaan airnya tidak mencukupi. Diperlukan bimbingan dan penyuluhan intensif, percontohan penyesuaian dan pengawalan pola tanam yang tepat, pembukaan peluang pasar komoditas alternatif, serta pemberdayaan petani untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.
C. Wilayah Banjir dan Kekeringan
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di : Dataran rendah dan berdrainase buruk, Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan Daerah pantai Wilayah kekeringan umumnya tersebar di :
Areal pertanian tadah hujan,Daerah irigasi golongan 3,Daerah gadu liar, Daerah endemik kekeringan
KERANGKA PIKIR PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN
Sampai saat ini data, peta dan informasi tabular, spasial dan temporal tentang banjir dan kekeringan masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai instansi Pemerintah seperti Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta. Fragmentasi data dan informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor penyebab, risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir dan kekeringan lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat berdasarkan tugas pokok fungsi instansi dan interes prioritasnya. Rendahnya sinergi ini menyebabkan masalah banjir dan kekeringan sampai saat ini tidak dapat diturunkan besarannya sekalipun biaya yang dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus meningkat. Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap fakta empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir dan kekeringan
Berdasarkan kerangka pikir hubungan timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka tahapan dan kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan kepada semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan diawasi bersama. Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional terhadap semua pihak untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya) serta berpartisipasi aktif agar masalah banjir dan kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional. Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
A. Prioritas Pengelolaan
Sedangkan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga pendekatan: klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan tingkat kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan berat atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan sedang atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan ringan atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
B.Langkah Penanganan
Secara sistematis langkah penanganan pengelolaan banjir dan kekeringan memuat dua strategi yaitu strategi umum dan dan strategi khusus.
1. Strategi Umum
Masing masing daerah menyusun pola tanam yang lebih ditail berdasarkan masukan seluruh pemangku kepentingan dengan memperhitungkan prakiraan iklim, keandalan debit, jenis komoditas yang diusahakan, dan aspek lainnya. Selanjutnya pola tanam tersebut dievaluasi secara reguler 2 (dua) mingguan agar dapat disesuaikan network planningnya dan diketahui periode kritisnya. Untuk itu diperlukan data dan informasi peramalan iklim yang semakin akurat, penyuluh yang giat di lapangan, penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang ketat serta perilaku petani yang taat terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama, contoh network diagram planning optimalisasi lahan sawah teknis pada Lampiran.
2. Strategi Khusus
Masing masing wilayah banjir dan atau kekeringan, kelompok tani/P3A beserta petugas Dinas pertanian dan Dinas Pengairan setempat harus melakukan work through di wilayah kerja masing masing sebelum tanam untuk melakukan pengecekan kembali kesiapan saluran dalam mendukung pelaksanaan pola tanam.
Membangun jaringan tingkat usaha tani dan atau jaringan tata air mikro di setiap lokasi untuk perbaiki efisiensi ketersediaan air
Untuk daerah yang mengalami banjir dan kekeringan introduksi tanaman yang tahan genangan dan atau kekurangan air perlu dilakukan sambil menunggu perbaikan DAS hulu dan perbaikan infrastruktur penanggulangan banjir dan kekeringan.
Ditail langkah penanganan banjir dan kekeringan dapat dilakukan berdasarkan menu pilihan yang tersedia dengan menyesuaikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi setempat. Pilihan menu jangka pendek, menengah dan panjang disajikan sebagai berikut:
Jangka pendek
1) Klimatologis
Peningkatan kemampuan prakiraan iklim dan pengamatan perubahan iklim Sosialisasi/diseminasi hasil prakiraan iklim Pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Mencari sumber air alternatif atau membuat sumur Rehabilitasi dan pemeliharaan Jaringan irigasi dan drainase Pengembangan bangunan konservasi air irigasi partisipatif; Pemanfaatan pompa air (pompanisasi) dengan energi angin
Pengembangan usahatani konservasi, reklamasi dan optimasi lahan
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak (terlampir peta potensi rawa lebak) Pengembangan SRI/PTT/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan Sekolah Lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi Peningkatan kinerja posko & pokja iklim (pusat & daerah) Jangka Menengah
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim Mengoptimalkan sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim Evaluasi dan pembaharuan (up dating) peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Membangun jaringan drainase dan irigasi Rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan drainase/irigasi Pengembangan irigasi partisipatif; Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan pompanisasi Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (gnkpa) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat serta pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air. Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air. Pelatihan petugas lapangan lanjutan Jangka Panjang
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim. Pemanfaatan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Pembaharuan (up dating) database spasial dan analisa spasial peta wilayah rawan banjir dan kekeringan Sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
2) Hidrologis
Pembangunan dan pemeliharaan jaringan drainase Pembuangan kelebihan air melalui pompanisasi Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan irigasi partisipatif Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (GNKPA) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air
Pelatihan petugas lapangan
METODE PENYUSUNAN
Penyusunan peta banjir dan kekeringan partisipatif ini dilakukan melalui diskusi antar pemangku kepentingan untuk menghimpun data dan informasi serta bahan masukan pengambilan keputusan. Instansi yang berpartsipasi aktif dalam penyusunan awal meliputi: Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan, Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. Berdasarkan hasil beberapa kali diskusi, maka disepakati metode penyusunan peta pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif yang meliputi: (i) desk work untuk mempersiapkan peta rawan banjir dan kekeringan, rawan kekeringan dan rawan banjir dan penentuan kabupaten prioritas (ii) validasi lapangan bersama instansi terkait di kabupaten prioritas (iii) pemutakhiran (up dating) peta rawan banjir dan kekeringan dan naskahnya (iv) finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan sekaligus presentasi final di depan Menteri terkait (v) sosialisasi hasil cetak biru ke masyarakat dan implementasi lapangan. Rencana ditail jadual waktu penyusunan cetak biru sampai dengan sosialisasinya disajikan pada Gambar Lampiran 1.
Berkaitan dengan butir (i), maka ditetapkan pada tahap pertama penyusunan peta rawan banjir dan kekeringan akan diselesaikan naskah utama dan naskah metode penyusunan wilayah rawan banjir dan kekeringan untuk pulau Jawa (Buku I) dengan pertimbangan karena jawa mensuplai 50% produksi pangan nasional, wilayahnya paling banyak terkena banjir dan kekeringan. Selanjutnya secara bertahap akan diselesaikan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) (Buku II), Pulau Sumatra (Buku III), Pulau Kalimantan (Buku IVI), Sulawesi (Buku V), Bali dan (VI) serta Maluku dan Papua (Buku VII).
Paling tidak diperlukan lima elemen dasar untuk menyusun peta rawan banjir dan kekeringan yaitu (1) peta lahan sawah (2) peta daerah rawan banjir dan (3) peta daerah rawan kekeringan (4) peta daerah irigasi dan (5) peta administrasi level kecamatan. Superimpose/overlay kelima peta yang ada menghasilkan tematik rawan banjir dan kekeringan, rawan banjir, rawan kekeringan dan wilayah sawah yang belum rawan pada tingkat kecamatan.
Untuk menvalidasi peta rawan banjir dan kekeringan yang dihasilkan melalui desk work, maka peta-peta yang dihasilkan divalidasi ke lapangan bersama instansi terkait pusat, propinsi maupun kabupaten. Kegiatan validasi ke lapangan dipilih berdasarkan data sebaran luas wilayah yang terkena banjir dan atau kekeringan serta besaran dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil diskusi dengan instansi terkait, maka disepakati ada 12 Kabupaten di 3 Propinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ditail ke 12 kabupaten tersebut adalah sebagai berikut:
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon dan Cianjur)
Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Sragen, Pati, Rembang dan Blora)
Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Lamongan dan Bojonegoro)
Selanjutnya propinsi terkait diminta untuk dapat melakukan validasi kabupaten/kota rawan banjir dan kekeringan dengan menggunakan metode yang sama saat melakukan validasi ke 12 kabupaten prioritas. Finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan dengan mengundang instansi terkait dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghimpun masukan akhir sebelum dilakukan cetak final. Pendekatan partisipatif ini dimaksudkan agar hasil cetak biru menjadi milik bersama (common properties), sehingga merasa mempunyai kewajiban yang sama dalam menyusekseskan implementasi pengelolaan banjir dan kekeringan.
Untuk memperoleh masukan dan dukungan pengambil keputusan sektoral, maka akan dilakukan ekspose dengan mengundang Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait untuk memperoleh dukungan kebijakan dan pendanaan yang konsisten.
Setelah diperoleh dukungan pengambil kebijakan tertinggi sektoral dan lembaga pemerintah non departemen, maka sosialisasi dilakukan terhadap masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan pertama dan utama. Peta, data dan informasi tentang wilayah rawan banjir dan kekeringan serta prioritas pengelolaannya disosialisasikan kepada petani dan seluruh pemangku kepentingan di kabupaten/kecamatan rawan banjir dan kekeringan untuk memperoleh masukan dan kesepakatan serta dukungan dalam implementasinya. Masyarakat termasuk petani perlu diberikan kesempatan luas untuk mengelola banjir dan kekeringan sesuai hasil musyawarah. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan dinamisator, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan. Melalui pendekatan partisipatif ini, maka pemerintah dapat menggunakan succes story dari pilot project pengelolaan banjir dan kekeringan untuk diadopsi, dimodifikasi dan dikembangkan di daerah lain. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat dilakukan melalui: (i) penentuan prioritas pengelolaan (ii) identifikasi faktor penyebab (iii) pemilihan model pengelolaan banjir dan kekeringan yang partisipatif.
PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN LAPANGAN
Pengelolaan wilayah banjir dan kekeringan per kecamatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
A. Prioritas I, yaitu kecamatan yang sawahnya mengalami banjir dan juga kekeringan pada lokasi yang sama.
Daerah tersebut perlu mendapatkan penanganan pertama mengingat dampak ekonomi dan sosialnya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan lainnya. Pada daerah-daerah tersebut termasuk daerah yang Sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim.
Daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi (golongan 4, 5 dst), daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal)
B. Prioritas II, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman. Daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi.
C. Prioritas III, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman. Daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang. Pengelolaan banjir dan kekeringan tersebut dilakukan melalui keterpaduan pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis dalam program jangka pendek, menengah dan panjang.
Selanjutnya aplikasi lapangan pengelolaan banjir dan kekeringan dalam bentuk jadual tanam yang ketat yang didukung penyuluh yang giat, dengan komoditas tepat dan petani taat disajikan dalam bentuk rencana jejaring kerja (network planing)
Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas yang berbeda seperti dua sisi dari satu keping mata uang logam. Kejadian tersebut silih berganti, bahkan diprakirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang terkena pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang terkena mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 1997 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino kuat sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha.
Sementara di Jawa kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dengan kemampuan memasok 50-55% produksi padi nasional, sebagian besar lahan sawah beririgasi dan tadah hujan yang rawan kekeringan 1. 448 829 ha (42%), rawan banjir 340 698 ha (9%), rawan banjir dan kekeringan 427 894 ha (13%), dan hanya 36% yang tidak rawan. Proporsi ini dipastikan akan terus memburuk karena lahan yang sampai saat ini belum rawan banjir dan kekeringan dapat berubah menjadi rawan banjir, rawan kekeringan atau rawan keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa banjir dan kekeringan merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan secara bertahap dengan mengerahkan segala sumberdaya dan semua pemangku kepentingan.
Paling tidak ada enam argumen yang mendasari disusunnya buku cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif ini: (i) peningkatan luas wilayah persawahan yang terkena banjir dan kekeringan, dengan dampak penurunan produksi sampai gagal panen (puso) terus meningkat (ii) terjadi banjir dan kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal (iii) transisi dan periode ulang (return period) anomali iklim cenderung acak (randomized), sehingga sangat menyulitkan dalam adaptasi (iv) kekeringan dan banjir berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama (v) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah dan antar waktu (vi) banjir dan kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya tetapi tidak dapat dihilangkan, sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
Berdasarkan ilustrasi kompleksitas, dinamika dan dampak masalah banjir dan kekeringan, maka diperlukan pengelolaan partisipatif dengan memberikan hak dan kewajiban yang proporsional terhadap semua pemangku kepentingan dengan menekankan tindakan penyesuaian dan anitisipatif agar risiko yang ditimbulkan dapat direduksi dan diantisipasi lebih dini.
Penyebab Banjir dan Kekeringan serta sebaran Wilayah Banjir dan Kekeringan.
menguraikan tentang Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi Padi. Dampak banjir dan kekeringan menunjukkan kecenderungan peningkatan luas areal terkena dan puso serta Kejadian banjir dan kekeringan yang berulang di tahun yang sama dan lokasi yang sama sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap penurunan produksi pertanian khususnya padi.
menguraikan tentang Kerangka Pikir Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional yang difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
Berdasarkan data pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan, maka ada tiga faktor dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan yaitu faktor klimatologis, hidrologis dan agronomis. Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis dominan keragaman iklim penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir jika pendinginan (La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD positif menyebabkan penurunan di wilayah Indonesia bagian selatan, sedangkan IOD negatif menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi di wilayah yang sama. Sementara MJO akan berpengaruh pada awal musim hujan yang dimulai dari bagian barat Sumatera bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis. Implikasinya, terjadinya kelebihan air pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau, sehingga menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah mengalami puso.
Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan. Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani, diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.
BANJIR DAN KEKERINGAN
A. Pengertian Banjir dan Kekeringan
Banjir adalah tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian.
B. Penyebab Banjir dan Kekeringan
Secara faktual faktor determinan penyebab banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim, terganggunya keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah, intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama di daerah hilir yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan penangkap air di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis akibat menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan. Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam. Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam dan pemilihan jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai pada lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan ataupun areal gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu liar adalah puso. Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan (habit) petani yang memilih memaksakan menanam padi walaupun ketersediaan airnya tidak mencukupi. Diperlukan bimbingan dan penyuluhan intensif, percontohan penyesuaian dan pengawalan pola tanam yang tepat, pembukaan peluang pasar komoditas alternatif, serta pemberdayaan petani untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.
C. Wilayah Banjir dan Kekeringan
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di : Dataran rendah dan berdrainase buruk, Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan Daerah pantai Wilayah kekeringan umumnya tersebar di :
Areal pertanian tadah hujan,Daerah irigasi golongan 3,Daerah gadu liar, Daerah endemik kekeringan
KERANGKA PIKIR PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN
Sampai saat ini data, peta dan informasi tabular, spasial dan temporal tentang banjir dan kekeringan masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai instansi Pemerintah seperti Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta. Fragmentasi data dan informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor penyebab, risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir dan kekeringan lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat berdasarkan tugas pokok fungsi instansi dan interes prioritasnya. Rendahnya sinergi ini menyebabkan masalah banjir dan kekeringan sampai saat ini tidak dapat diturunkan besarannya sekalipun biaya yang dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus meningkat. Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap fakta empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir dan kekeringan
Berdasarkan kerangka pikir hubungan timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka tahapan dan kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan kepada semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan diawasi bersama. Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional terhadap semua pihak untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya) serta berpartisipasi aktif agar masalah banjir dan kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional. Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
A. Prioritas Pengelolaan
Sedangkan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga pendekatan: klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan tingkat kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan berat atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan sedang atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan ringan atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
B.Langkah Penanganan
Secara sistematis langkah penanganan pengelolaan banjir dan kekeringan memuat dua strategi yaitu strategi umum dan dan strategi khusus.
1. Strategi Umum
Masing masing daerah menyusun pola tanam yang lebih ditail berdasarkan masukan seluruh pemangku kepentingan dengan memperhitungkan prakiraan iklim, keandalan debit, jenis komoditas yang diusahakan, dan aspek lainnya. Selanjutnya pola tanam tersebut dievaluasi secara reguler 2 (dua) mingguan agar dapat disesuaikan network planningnya dan diketahui periode kritisnya. Untuk itu diperlukan data dan informasi peramalan iklim yang semakin akurat, penyuluh yang giat di lapangan, penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang ketat serta perilaku petani yang taat terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama, contoh network diagram planning optimalisasi lahan sawah teknis pada Lampiran.
2. Strategi Khusus
Masing masing wilayah banjir dan atau kekeringan, kelompok tani/P3A beserta petugas Dinas pertanian dan Dinas Pengairan setempat harus melakukan work through di wilayah kerja masing masing sebelum tanam untuk melakukan pengecekan kembali kesiapan saluran dalam mendukung pelaksanaan pola tanam.
Membangun jaringan tingkat usaha tani dan atau jaringan tata air mikro di setiap lokasi untuk perbaiki efisiensi ketersediaan air
Untuk daerah yang mengalami banjir dan kekeringan introduksi tanaman yang tahan genangan dan atau kekurangan air perlu dilakukan sambil menunggu perbaikan DAS hulu dan perbaikan infrastruktur penanggulangan banjir dan kekeringan.
Ditail langkah penanganan banjir dan kekeringan dapat dilakukan berdasarkan menu pilihan yang tersedia dengan menyesuaikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi setempat. Pilihan menu jangka pendek, menengah dan panjang disajikan sebagai berikut:
Jangka pendek
1) Klimatologis
Peningkatan kemampuan prakiraan iklim dan pengamatan perubahan iklim Sosialisasi/diseminasi hasil prakiraan iklim Pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Mencari sumber air alternatif atau membuat sumur Rehabilitasi dan pemeliharaan Jaringan irigasi dan drainase Pengembangan bangunan konservasi air irigasi partisipatif; Pemanfaatan pompa air (pompanisasi) dengan energi angin
Pengembangan usahatani konservasi, reklamasi dan optimasi lahan
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak (terlampir peta potensi rawa lebak) Pengembangan SRI/PTT/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan Sekolah Lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi Peningkatan kinerja posko & pokja iklim (pusat & daerah) Jangka Menengah
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim Mengoptimalkan sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim Evaluasi dan pembaharuan (up dating) peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Membangun jaringan drainase dan irigasi Rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan drainase/irigasi Pengembangan irigasi partisipatif; Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan pompanisasi Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (gnkpa) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat serta pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air. Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air. Pelatihan petugas lapangan lanjutan Jangka Panjang
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim. Pemanfaatan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Pembaharuan (up dating) database spasial dan analisa spasial peta wilayah rawan banjir dan kekeringan Sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
2) Hidrologis
Pembangunan dan pemeliharaan jaringan drainase Pembuangan kelebihan air melalui pompanisasi Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan irigasi partisipatif Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (GNKPA) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air
Pelatihan petugas lapangan
METODE PENYUSUNAN
Penyusunan peta banjir dan kekeringan partisipatif ini dilakukan melalui diskusi antar pemangku kepentingan untuk menghimpun data dan informasi serta bahan masukan pengambilan keputusan. Instansi yang berpartsipasi aktif dalam penyusunan awal meliputi: Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan, Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. Berdasarkan hasil beberapa kali diskusi, maka disepakati metode penyusunan peta pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif yang meliputi: (i) desk work untuk mempersiapkan peta rawan banjir dan kekeringan, rawan kekeringan dan rawan banjir dan penentuan kabupaten prioritas (ii) validasi lapangan bersama instansi terkait di kabupaten prioritas (iii) pemutakhiran (up dating) peta rawan banjir dan kekeringan dan naskahnya (iv) finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan sekaligus presentasi final di depan Menteri terkait (v) sosialisasi hasil cetak biru ke masyarakat dan implementasi lapangan. Rencana ditail jadual waktu penyusunan cetak biru sampai dengan sosialisasinya disajikan pada Gambar Lampiran 1.
Berkaitan dengan butir (i), maka ditetapkan pada tahap pertama penyusunan peta rawan banjir dan kekeringan akan diselesaikan naskah utama dan naskah metode penyusunan wilayah rawan banjir dan kekeringan untuk pulau Jawa (Buku I) dengan pertimbangan karena jawa mensuplai 50% produksi pangan nasional, wilayahnya paling banyak terkena banjir dan kekeringan. Selanjutnya secara bertahap akan diselesaikan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) (Buku II), Pulau Sumatra (Buku III), Pulau Kalimantan (Buku IVI), Sulawesi (Buku V), Bali dan (VI) serta Maluku dan Papua (Buku VII).
Paling tidak diperlukan lima elemen dasar untuk menyusun peta rawan banjir dan kekeringan yaitu (1) peta lahan sawah (2) peta daerah rawan banjir dan (3) peta daerah rawan kekeringan (4) peta daerah irigasi dan (5) peta administrasi level kecamatan. Superimpose/overlay kelima peta yang ada menghasilkan tematik rawan banjir dan kekeringan, rawan banjir, rawan kekeringan dan wilayah sawah yang belum rawan pada tingkat kecamatan.
Untuk menvalidasi peta rawan banjir dan kekeringan yang dihasilkan melalui desk work, maka peta-peta yang dihasilkan divalidasi ke lapangan bersama instansi terkait pusat, propinsi maupun kabupaten. Kegiatan validasi ke lapangan dipilih berdasarkan data sebaran luas wilayah yang terkena banjir dan atau kekeringan serta besaran dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil diskusi dengan instansi terkait, maka disepakati ada 12 Kabupaten di 3 Propinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ditail ke 12 kabupaten tersebut adalah sebagai berikut:
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon dan Cianjur)
Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Sragen, Pati, Rembang dan Blora)
Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Lamongan dan Bojonegoro)
Selanjutnya propinsi terkait diminta untuk dapat melakukan validasi kabupaten/kota rawan banjir dan kekeringan dengan menggunakan metode yang sama saat melakukan validasi ke 12 kabupaten prioritas. Finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan dengan mengundang instansi terkait dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghimpun masukan akhir sebelum dilakukan cetak final. Pendekatan partisipatif ini dimaksudkan agar hasil cetak biru menjadi milik bersama (common properties), sehingga merasa mempunyai kewajiban yang sama dalam menyusekseskan implementasi pengelolaan banjir dan kekeringan.
Untuk memperoleh masukan dan dukungan pengambil keputusan sektoral, maka akan dilakukan ekspose dengan mengundang Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait untuk memperoleh dukungan kebijakan dan pendanaan yang konsisten.
Setelah diperoleh dukungan pengambil kebijakan tertinggi sektoral dan lembaga pemerintah non departemen, maka sosialisasi dilakukan terhadap masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan pertama dan utama. Peta, data dan informasi tentang wilayah rawan banjir dan kekeringan serta prioritas pengelolaannya disosialisasikan kepada petani dan seluruh pemangku kepentingan di kabupaten/kecamatan rawan banjir dan kekeringan untuk memperoleh masukan dan kesepakatan serta dukungan dalam implementasinya. Masyarakat termasuk petani perlu diberikan kesempatan luas untuk mengelola banjir dan kekeringan sesuai hasil musyawarah. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan dinamisator, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan. Melalui pendekatan partisipatif ini, maka pemerintah dapat menggunakan succes story dari pilot project pengelolaan banjir dan kekeringan untuk diadopsi, dimodifikasi dan dikembangkan di daerah lain. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat dilakukan melalui: (i) penentuan prioritas pengelolaan (ii) identifikasi faktor penyebab (iii) pemilihan model pengelolaan banjir dan kekeringan yang partisipatif.
PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN LAPANGAN
Pengelolaan wilayah banjir dan kekeringan per kecamatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
A. Prioritas I, yaitu kecamatan yang sawahnya mengalami banjir dan juga kekeringan pada lokasi yang sama.
Daerah tersebut perlu mendapatkan penanganan pertama mengingat dampak ekonomi dan sosialnya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan lainnya. Pada daerah-daerah tersebut termasuk daerah yang Sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim.
Daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi (golongan 4, 5 dst), daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal)
B. Prioritas II, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman. Daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi.
C. Prioritas III, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman. Daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang. Pengelolaan banjir dan kekeringan tersebut dilakukan melalui keterpaduan pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis dalam program jangka pendek, menengah dan panjang.
Selanjutnya aplikasi lapangan pengelolaan banjir dan kekeringan dalam bentuk jadual tanam yang ketat yang didukung penyuluh yang giat, dengan komoditas tepat dan petani taat disajikan dalam bentuk rencana jejaring kerja (network planing)